Pernah berpikir apakah kebaikan yang kita lakukan atau kita dapatkan merupakan formalitas semata?
Misalkan temanmu sedang bahagia, lalu kamu sekedar formalitas mengucapkan selamat? Begitu pun jika seorang teman yang sedang sedih dan terjatuh, kamu menyemangati dia agar dia semangat? Tapi sebenarnya itu hanya meringankan dirimu dari rasa bersalah maupun bingung harus melakukan apa.
Selama setahun terakhir aku menyebutnya kebaikan formalitas, yang kini aku ragukan apakah itu masih bernama kebaikan. Hal tersebut mungkin salah, tapi mungkin juga benar. Hanya bisa kita ketahui jika kita bertanya ke hati kita sendiri. Salah karena ketulusan dari kebaikan tersebut dipertanyakan, benar karena setidaknya kita mencoba untuk berbuat baik.
Lalu apa yang akan terjadi jika mendapatkan kebaikan formalitas dan berharap melalui kebaikan tersebut? Menurutku tergantung seberapa besar kebaikan tersebut dan seberapa besar pula harapan yang terbentuk dari kebaikan tersebut.
Tepat satu tahun yang lalu aku menyadari bahwa selama hampir tujuh tahun aku berharap kepada sebuah kebaikan formalitas. Tulisan ini merupakan kelanjutan dari cerita “Aku Masih Hidup 1” dan “Aku Masih Hidup 2 : Kenangan“. Teringat seorang teman yang berkata “Tulisan tersebut adalah tulisan paling jujur yang pernah saya baca dari seorang Faizah”. Tentunya aku mengiyakan karena memang aku sangat bersyukur dipertemukan dengan orang tersebut dan dia menyelamatkan hidupku melalui kebaikannya. Aku mampu bertahan hidup selama beberapa tahun terakhir ini karena kebaikannya, karena harapan yang terselip dari kebaikan tersebut.
Seperti yang selalu kuulang di setiap tulisan “Aku Masih Hidup”, dia mengatakan padaku bahwa dia ingin melihatku bahagia suatu saat nanti. Dia mengatakan hal tersebut di saat tidak ada satu orang pun yang menyemangati, mendukung dan membantuku keluar dari situasi kelamku saat itu, bahkan keluargaku sendiri pun tidak. Aku berharap dengan semua yang dia katakan, dia membuatku berharap akan ada orang yang tulus seperti dia dan benar-benar menganggapku ada. Dia membuatku percaya bahwa tidak semua orang membuangku.
Setelah hampir tujuh tahun, setelah aku mampu melalui semuanya dengan bantuan kebaikannya, aku menyadari bahwa hal tersebut bukan lah hal yang penting baginya, bahkan dia tidak menyadari pernah melakukan itu semua. Lalu aku mempertanyakan itu semua sebenarnya apa? Aku salah berharap? Atau dia hanya sekedar formalitas menyemangatiku karena tidak tahan melihat temannya yang depresi dan ingin mengakhiri hidup? Aku tidak tahu karena saat bertanya pun aku tahu dia akan menjawab bahwa dia melupakannya.
Aku tidak mampu menilai bahwa hal tersebut bukanlah sebuah kesalahan karena aku tahu bagaimanapun kebaikan formalitasnya membuatku hidup hingga saat ini. Meskipun tanpa dia ketahui, hidupku setahun terakhir semenjak mengetahui kenyataan tersebut kacau dan aku kehilangan seluruh kepercayaanku kepada semua orang di sekitarku bahkan kepada diriku sendiri. Teringat bagaimana kulalui setahun ini dengan menyendiri, menangis, menghindar dari segala hal dan hanya hadir saat harus melaksanakan amanah akademik juga kemahasiswaan, ketakutan dan panik menghadapi kehidupan sosialku. Aku benar-benar tidak menyangka kehampaan dan rasa kosong yang aku rasakan di akhir pertemuan kami setahun yang lalu bertahan selama ini dan berdampak sebesar ini.
Memang sebuah kesalahan berharap pada manusia, tidak perlu diingatkan dan disadarkan, aku selalu tahu itu. Dan aku semakin mengerti akan hal itu selama setahun terakhir ini.
Bagaimanapun aku tetap mencoba bersyukur akan kehadirannya delapan tahun yang lalu. Tujuh tahun dengan harapan dan kebahagiaan untuk setiap kebaikannya dan setahun dengan mengutuk kebaikan formalitasnya. Tidak apa, karena pada akhirnya dia tetap menyandang status sebagai salah satu orang terpentng dalam hidupku meskipun pada akhirnya ia mengahancurkan segalanya.
Hidup harus berjalan, dan aku tahu tidak mungkin aku memaksa berhenti. Mungkin aku kehilangan harapan dan kepercayaan, tapi aku harus mencari selama aku masih diberi kesempatan untuk hidup
Terimakasih untuk orang-orang di sekitar saya yang terus bertahan meskipun lelah menghadapi saya yang berubah cukup drastis setahun terakhir, terimakasih untuk yang tetap percaya pada saya meskipun tidak tahu apa yang sedang terjadi pada saya, terimakasih atas banyaknya ruang sendiri yang kalian berikan. Ucapan ini saya sampaikan dan sematkan di dalam hati saya. Mungkin saya belum bisa percaya saat ini bahwa apa yang kalian lakukan bukanlah kebaikan formalitas, tapi saya janji akan melakukannya nanti.
Tulisan ini berbeda dari serial Aku Masuk Hidup sebelumnya yang menggunakan format “kamu” karena saya memang berbicara pada dia. Kali ini walaupun saya tidak bisa menjamin apakah ini tulisan terakhir atau tidak, saya tidak ingin berbicara dengan dia di tulisan saya lagi sekarang atau nanti.
Bandung, 6 Agustus 2018