Tulisan ini berkali-kali ditulis ulang, berkali-kali penuh keraguan untuk mempublisnya, berkali-kali pula menyesal karena begitu takut untuk berbagi. 10 September merupakan Hari Pencegahan Bunuh diri Sedunia (World Suicidal Prevention Day). Sebenarnya saya ga tau sejak kapan ada hari peringatan seperti itu, baru tau mengenai kampanye tersebut sekitar setahun atau dua tahun yang lalu mungkin. Saya juga ga tau seberapa besar pengaruh peringatan tersebut untuk penurunan angka kasus bunuh diri atau seberapa besar pengaruhnya terhadap kesadaran orang-orang terhadap kasus bunuh diri.
Kali ini, akan bercerita dan berbagi perspektif mengenai bunuh diri dari seseorang yang pernah mencoba, yaitu diri saya sendiri. Awalnya tulisan ini ingin dikirimkan ke sebuah platform bernama Bagi Kata tapi akhirnya saya mengurungkan niat tersebut karena tidak siap. Sekarang saya memutuskan untuk berbagi di akun saya sendiri.
Pertama kali saya berpikir untuk mengakhiri hidup yaitu setahun setelah kepindahan saya dari Bandung ke Bekasi, saat saya kelas 5 SD. Sejujurnya, sejak perceraian orang tua saya empat tahun sebelumnya, saya mempertanyakan tentang “mengapa saya harus terlahir di dunia ini dengan kondisi keluarga seperti ini?”. Hal tersebut tentunya pemikiran yang sangat jauh untuk anak kelas 1 SD. Hal tersebut semakin saya pikirkan seiring waktu karena seiring berambahnya usia, saya semakin sering menjadi pelampiasan emosi ayah saya dengan cara dipukul dan kekerasan fisik lainnya. Pemikiran tersebut melahirkan sebuah pemikiran baru: saya harus mencari cara supaya saya mati dan tidak merasa sakit.
Sejujurnya, setiap kali dipukul saya selalu berharap untuk mati saat itu juga. Saya tidak punya keberanian untuk melukai diri sendiri dan bunuh diri. Namun saya ingin mati. Akhirnya yang saya lakukan hanya merusak kesehatan saya agar saya sakit, lalu mati. Iya, itu pemikiran saya saat kelas 5 SD.
Setiap hari saya selalu makan mie lebih dari dua bungkus agar usus saya rusak, saya juga membiarkan diri saya untuk menghirup asap rokok ayah saya di rumah, sengaja menyebrang di jalan raya secara sembarangan karena berharap ditabrak, dan usaha-usaha lainnya. Saya ingin mati, tapi saya tidak tau cara yang benar seperti apa. Teringat seorang wali kelas saya saat itu bertanya setelah mendapat laporan dari teman sekelas saya bahwa saya nakal karena makan mie berkali-kali di sekolah,
“Faizah, kamu ga boleh makan sembarangan apalagi mie dan makanan pedas berlebihan nak, ga sehat.” ujar guru saya, lalu saya hanya menjawabnya dengan muka datar “gapapa bu, sengaja saya pengen cepat mati.” Semenjak saat itu guru saya tidak pernah menegur saya dan membiarkan itu terjadi. Tidak memberikan pertolongan.
Bertahun-tahun berlalu, semakin banyak usaha yang saya lakukan, hingga ke cara yang melukai diri sendiri, namun tetap gagal. Puncaknya saat saya kelas 2 SMP, saya berniat melakukan sesuatu yang lebih parah dari sebelumnya namun sebelumnya saya menuliskan sesuatu di akun facebook saya. Entah kenapa saya ingin untuk terakhir kalinya meminta pertolongan, tapi tidak tahu harus ke siapa dan bagaimana.
Dari tulisan tersebut ternyata ada salah seorang teman sekolah saya yang mempertanyakan keputusan itu dan mencoba membuat saya berpikir untuk menggagalkan keputusan saya. Kisah tersebut saya ceritakan dalam cerita Aku Masih Hidup di blog saya.
Itu adalah pertolongan pertama dan terakhir yang pernah saya terima selama bertahun-tahun ingin mati. Hidup terus berlalu, banyak yang harus saya lakukan untuk memperbaiki hidup saya pasca semua kejadian tersebut demi bertahan hidup. Enam tahun terakhir saya selalu berusaha hidup, berusaha menampikkan keinginan untuk mengakhiri hidup sedepresi apapun saya. Saya belum sepenuhnya sembuh, masih sering memikirkan “mengapa saya harus lahir?” atau “seberapa penting kehadiran saya bagi orang lain?” namun saya tahu pilihan untuk mengakhiri hidup bukan pilihan yang terbaik.
Pada World Suicidal Prevention Day kemarin, saya melihat ada banyak sekali kalimat-kalimat penyemangat yang ditujukan ke orang-orang yang ingin melakukan bunuh diri atau saran-saran yang harus dilakukan seseorang jika orang di sekitarnya ingin bunuh diri. Sebenarnya itu berguna ga sih? Saya mau menuliskan opini saya mengenai kalimat-kalimat atau tindakan pertolongan yang disarankan di berbagai media sosial.
1. Beri tahu orang tersebut bahwa dia tidak sendirian dan orang-orang di sekitarnya sayang dia (ya intinya dia berharga lah ya)
Menurut saya sih ini ga berlaku untuk semua kasus ya. Kalo di kasus saya sendiri, saya ga nemu sama sekali tuh orang yang peduli sama saya (bahkan temen saya yg disebut di atas pun ternyata cuma formalitas aja nyemangatin) entah itu keluarga, temen, guru, tetangga dan lainnya. Orang yang mau bunuh diri, biasanya emang udah di tahap dia merasa sesendiri itu dan ga percaya sama siapapun. Jadi bisa aja nih, dia ga percaya kalo kamu ngomong “kamu tuh berharga dan layak untuk hidup, kita sayang sama kamu”, ga ada buktinya, dia udah ada di titik terendah dan ga semudah itu untuk percaya.
2. Inget deh, bunuh diri itu dosa.
Please, siapapun usahain jangan ngomong gini. Iya emang bisa aja kadar keimanan seseorang berhubungan sama kasus bunuh diri, tapi ngomong kaya gitu ke orang yang bunuh diri tuh kurang pas. Soalnya kemungkinannya banyak, bisa aja dia emang udah ga percaya Tuhan jadinya ga mempan, atau dia tau tapi ga peduli, dan kemungkinan lainnya. Dulu pas ada di titik terendah, saya bahkan ga peduli itu dosa atau gak.
3. Semangat, jangan nyerah karena kamu pasti bisa, ayo bertahan!
Percaya ga, sebenernya sebagian besar (oke saya ga punya data, setau saya aja ini mah) orang yang mau bunuh diri itu udah berusaha semaksimal mungkin, melewati limit yang dia punya. Dia bakal capek kalo kamu nyuruh dia bertahan lebih lama lagi. Jadi sebenarnya ini nyaris ga berguna untuk beberapa orang.
4. Kamu orang yang kuat
Entah ini berlaku untuk semua orang atau tidak, tapi rasanya sudah jaadi rahasia umum bahwa biasanya orang-orang cenderung berpura-pura kuat di hadapan semua orang untuk menutupi masalahnya. Oleh karena itu, mengatakan bahwa seseorang yang depresi bahkan ingin bunuh diri tersebut sebenarnya adalah orang yang kuat bisa jadi membuat dia semakin sulit untuk terbuka dan membagi bebannya. Hal tersebut bisa disebabkan karena tidak ingin membunuh ekpektasi orang lain tentang dirinya.
5. Jangan menghakimi
Ini bener banget sih. Semakin dihakimi, dia bakal semakin capek dan akhirnya semakin meyakini kalo keputusannya benar, karena ga ada yang bisa nolong dia. Semua orang sama aja.
6. Jadi pendengar yang baik
Menurut saya sih ini bagian paling benar dan paling sulit. Sebenarnya salah satu cara untuk mengurangi beban adalah dengan bercerita. Namun masalahnya sulit untuk menemukan orang yang bisa dipercaya dan mau untuk dijadikan tempat berbagi. Seberapa baik kamu menjadi pendengar untuk teman-teman kamu yang membutuhkan sebenarnya subjektif, setiap orang punya penilaian masing-masing dan cara tersendiri. Dua hal paling penting adalah poin №. 4 di atas dan tulus :)
Sebenarnya masih banyak lagi, tapi rasanya cukup ini saja. Saya berharap tulisan ini bisa menjadi penyadaran sendiri kalau di sekitar kita sebenarnya banyak orang-orang seperti saya, banyak orang-orang yang membutuhkan uluran tangan dan bunuh diri adalah hal yang nyata.
Ps: Bercerita tentang hal di atas bukan hal yang mudah, jadi tolong dimaklumi jika ada yang terlalu emosional ya. Dan tolong juga, jangan hakimi saya. Terimakasih :)